Minggu, 29 April 2012

WAWASAN NASIONAL INDONESIA

Wawasan nasional bangsa Indonesia adalah wawasan nusantara yang merupakan pedoman bagi proses pembangunan nasional menuju tujuan nasional. Dalam kehidupannya, bangsa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh interaksidan interelasi dengan lingkungan sekitarnya (regional atau internasional). Dalam hal ini bangsa Indonesia memerlukan prinsip – prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang – ambing dalam memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita – cita serta tujuan nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia wawasan nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara sehingga disebut WAWASAN NUSANTARA.

Pengertian Wawasan Nusantara
Cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiawai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita-cita nasional.

Latar Belakang Terjadinya Wawasan Nusantara
Indonesia adalah negara kepulauan yang berarti Indonesia terdiri dari pulau-pulau. Hal ini juga memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa yang berbeda-beda, kebiasaan dan adat istiadat yang berbeda, kepercayaan yang berbeda, kesenian, ilmu pengetahuan, mata pencaharian dan cara berpikir yang berbeda-beda. Berkat kekuasaan kerajaan Majapahit dan penjajahan Belanda Indonesia mulai bersatu. Untuk menjadi sebuah negara yang merdeka Indonesia harus mempunyai wilayah, penduduk dan pemerintah. Semua warga daerah di kepulauan nusantara yang dijajah Belanda setuju untuk bersatu dan membentuk sebuah negara kesatuan melalui sumpah pemuda. Agar Indonesia dapat merdeka Indonesia harus memiliki keinginan bersama. Setelah Indonesia merdeka tentu Indonesia harus mempertahankan kesatuan negara yang sdah diperjuangkan dengan darah. Oleh karena itu Indonesia harus puya cara pandang Bangsa Indonesia yang sama terhadap negara Indonesia.
Cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan yang berdasarkan Pancasila dengan semua aspek kehidupan yang beragam disebut Wawasan Nusantara. Wawasan nusantara dibentuk dan dijiwai oleh geopol. geopol adalah ilmu pengelolaan negara yang menitikberatkan pada keadaan geografis. Geopol selalu berkaitan dengan kekuasaan an kekuatan yang mengangkat paham atau mempertahankan paham yang idanut oleh suatu bangsa atau negara demi menjaga persatuan dan kesatuan.

Implementasi Wawasan Nusantara dalam Kehidupan Nasional
Dalam rangka menerapkan Wawasan Nusantara , kita sebaiknya terlebih dahulu mengerti dan memahami pengertian , ajaran dasar , hakikat , asas , kedudukan , fungsi serta tujuan dari Wawasan Nusantara . WAwasan Nusantara dalam kehidupan nasional yang mencakup kehidupan politik , ekonomi , sosial budaya , dan pertahanan keamanan harus tercermin dalam pola pikir , pola sikap , dan pola tindak yang senantiasa mengutamakan kepentingan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas kepentingan pribadi dan golongan . Dengan demikian , Wawasan Nusantara menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada setiap strata di seluruh wilayah negara , sehingga menggambarkan sikap dan perilaku , paham serta semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi yang merupakan identitas atau jati diri bangsa Indonesia .

Sumber :
http://restandana.wordpress.com
 

Rabu, 04 April 2012

Tulisan Mengenai Warga Negara


A.  Pendahuluan
Pembicaraan mengenai negara selalu menjadi pembicaraan yang menarik baik bagi kalangan ilmuwan politik, sosial dan hukum. Negara selalu menjadi bahan penelitian bagi berbagai kalangan untuk mengetahui sekaligus menguji perkembangan teori yang ada demi memperoleh justifikasi atau justru untuk membuat teori yang lebih baru. Setiap ilmuwan akan memberikan pengertian tentang negara secara beragam, ilmuwan politik memberikan definisi bahwa negara adalah sekumpulan politik masyarakat yang menggabungkan diri untuk mencapai tujuan bersama. Ilmuwan sosial memahami negara sebagai institusi sosial terbesar yang memiliki kewenangan untuk memaksakan kehendaknya kepada anggota perkumpulan tersebut. Sedangkan ilmuwan hukum memahami negara sebagai suatu organ yang memiliki 4 (empat) syarat yaitu ada penduduk tetap (a permanent population), ada wilayah tertentu (a defined territory), ada pemerintah (a government) dan memiliki kemampuan untuk secara mandiri melakukan hubungan dengan negara lain (a capacity to enter into relations with other states).
Banyak ilmuwan telah mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari masing-masing syarat di atas. Masing-masing syarat akan memunculkan disiplin ilmu yang beragam dengan metodologi yang beragam pula. Keberadaan penduduk akan memunculkan ilmu kependudukan, demografi dan kewarganegaraan, wilayah tertentu akan memunculkan ilmu geografi, keberadaan pemerintah akan memunculkan ilmu hukum tata negara dan administrasi negara, sedangkan hubungan dengan negara lain akan memunculkan ilmu hubungan internasional dan lain-lain sebagai bagian dari ilmu yang mempelajari empat syarat di atas.
Prof. Bagir Manan, S.H., M.C.L. dalam bukunya ini mengambil satu bagian penting dari syarat berdirinya sebuah negara yaitu mengenai penduduk tetap (a permanent population). Unsur penduduk atau warga negara dapat dikatakan sebagai unsur yang paling penting dalam sebuah negara. Warga negara merupakan unsur konstitutif keberadaan atau eksistensi negara, bahkan dapat dikatakan bahwa warga negara merupakan motif dasar mendirikan negara.
Secara historis pengaturan tentang kewarganegaraan selalu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan politik, ekonomi dan sosial dalam sebuah negara. Perubahan dan perkembangan tersebut juga terjadi di Indonesia sejak awal kemerdekaan—bahkan sejak sebelum kemerdekaan–hingga saat ini. Sebelum era kemerdekaan hingga awal kemerdekaan, sistem kewarganegaraan mengacu pada peraturan kewarganegaraan Hindia Belanda yang diatur dalam “wet Nederlands Onderdaanscaap Van Niet – Nederlanders” (S.1010:296). Peraturan ini berlaku berdasarkan pada aturan peralihan UUD yang menyatakan bahwa sebelum diatur secara khusus, peraturan perundang-undangan peninggalan Belanda masih berlaku. Peraturan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Warga Negara Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang dibuat berdasarkan UUDS 1950. Undng-Undang Nomor 62 Tahun 1958 ini selain berdasar pada UUDS 1950 juga merupakan undang-undang untuk menampung hasil Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 pada bagian Pembagian Kewarganegaraan. Undang-Undang ini kemudian diubah dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 yang secara khusus dibuat untuk merubah ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958.
Setelah sekian lama diberlakukan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 dirasa sudah tidak sejalan dengan kebutuhan hukum masyarakat, maka diundangkanlah peraturan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Undang-undang ini mengatur segala hal yang berkaitan dengan kewarganegaraan. Kewarganegaraan dimaknai sebagai “segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga Negara”.Makna yang sangat umum dan jauh dari pemaknaan yang komprehensif. Pemaknaan ini baru dapat dipahami manakala dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang lain seperti Pasal 26 UUD 1945.
Pasal 26 UUD 1945 menyatakan bahwa warga negara ialah (1) orang-orang bangsa Indonesia asli, (2) orang-orang bangsa asing yang disahkan sebagai warga negara. Penggunaan istilah bangsa Indonesia asli sesungguhnya merujuk pada Pasal 163 Indische Staatregeling (IS) pada zaman Belanda yang membagi penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan yaitu golongan Nederlanders (bangsa Eropa dan Jepang), Vreemde Oosterlingen (Arab dan Cina) dan Irlanders (bangsa pribumi/bumiputra). Sedangkan masuknya orang-orang bangsa asing akan berdampak pada prosedur pemberian kewargenagaraan dan sistem pewarganegaraan.
Pewarganegaraan mengenal ada tiga asas yaitu (1) asas ius sanguinis (law of the blood), yaitu pewarganegaraan berdasarkan keturunan, (2) asas ius soli (law of the soil), yaitu pewarganegaraan berdasarkan pada tempat kelahiran, dan (3) asas naturalisasi, yaitu pewarganegaraan karena pemberian dari negara. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menambahkan dua asas lagi yaitu asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda terbatas (hingga anak umur 18 tahun dan setelah itu sang anak harus menentukan pilihannya).

B.  Pemaknaan Terhadap Berbagai Istilah Warganegara
Beragamnya penggunaan istilah yang berkaitan dengan warganegara memberikan konsekuensi hukum yang juga berbeda-beda. Kembali ke Pasal 26 UUD 1945 misalnya, pada ayat (2) dinyatakan bahwa penduduk ialah warga negara dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pernyataan normatif ini dipahami bahwa penduduk tidak sama dengan warga negara. Penduduk terdiri dari Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing bahkan orang yang tidak berkewarganegaraan dengan catatan mereka tinggal di Indonesia. Sedangkan Warga Negara Indonesia dapat menjadi penduduk negara lain tanpa kehilangan kewarganegaraannya. Istilah lain yang juga sering digunakan adalah setiap orang, penduduk, rakyat atau rakyat Indonesia, dan bangsa Indonesia. Penjelasan mengenai masing-masing istilah akan dijelaskan dibawah ini.
(1)    Sebutan “setiap orang” menunjukkan bahwa ketentuan itu berlaku pada setiap orang baik warga negara maupun orang asing bahkan orang tanpa kewarganegaraan. Kata “setiap orang” ini banyak ditemukan terutama pada pasal-pasal yang berkaitan dengan hak asasi manusia khsusnya Pasal 28 UUD 1945 pasca amandemen. Sebutan “setiap orang” juga diketemukan pada bab tentang Hak-Hak dan Kewajiban Dasar Manusia dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUDS 1950.
(2)    Sebutan “tiap-tiap penduduk”. Sebutan ini diketemukan pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang kebebasan beragama. Istilah “penduduk” jelas maknanya adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia (sesuai Pasal 26 ayat (2) UUD 1945).
(3)    Sebutan “rakyat” atau “rakyat Indonesia”. Rakyat dimaknai sebagai warga negara. Istilah “rakyat” ditemukan di dalam pembukaan UUD antara lain dalam frasa “… dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia …”, kemudian dalam frasa “… maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya …”, juga dalam fasa “… bagi seluruh rakyat Indonesia …”. Istilah “rakyat” juga diketemukan di beberapa pasal dalam UUD 1945 antara lain Pasal 1 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (2).
(4)    Sebutan “bangsa Indonesia” dapat diketemukan di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu pada frasa “… yang melindungi segenap bangsa Indonesia …”, juga pada Pasal 31 ayat (5) yang berbunyi “… dengan menjunjung tinggi … persatuan bangsa”.
Perbedaan penggunaan berbagai istilah di atas akan memiliki implikasi yang beragam sesuai dengan konteks penggunaan istilah tersebut. Satu yang dapat dipastikan adalah bahwa seluruh istilah yang dijelaskan di atas selalu berkaitan dengan warga negara dan hukum kewarganegaraan.

C.    Asas Kewarganegaraan dan Mekanisme Pewargenagaraan di Indonesia
Secara normatif, sesungguhnya Indonesia menganut kewarganegaraan tunggal (apatride) dan bukan kewarganegaraan ganda (bipatride).  Warga negara hanya dibolehkan memiliki satu identitas kewarganegaraan. Namun, demi kepentingan mengakomodasi kebutuhan akan adanya anak yang lahir sebagai akibat pernikahan campuran (WNI yang menikah dengan WNA), maka asas kewarganegaraan ganda terbatas juga dianut. Maksud kewarganegaraan ganda terbatas adalah bahwa seorang anak dimungkinkan atau dibolehkan memiliki dua kewarganegaraan –sesuai identitas kewarganegaraan ayah dan ibunya– hingga berumur 18 tahun. Ketika anak tersebut telah mencapai usia 18 tahun, maka sang anak harus memutuskan untuk memilih satu dari dua kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan ayah atau ibunya.
Indonesia juga menganut asas naturalisasi, yaitu pemberian kewarganegaraan kepada orang asing. Secara umum, negara-negara memiliki dua sikap politik pewarganegaraan berkaitan dengan naturalisasi yaitu immigrant state dan non-immigrant state. Immigrant state biasanya dipilih oleh negara-negara yang berpenduduk sedikit. Pewarganegaraan dilakukan guna mempercepat laju pertumbuhan penduduk, sehingga negara mempersilahkan orang asing untuk datang ke negeri tersebut guna diberi kewargenagaraan. Pada umumnya negara-negara seperti ini juga menggunakan asas ius soli (law of the soil) yaitu pewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran. Sedangkan non-immigrant state dipilih oleh negara-negara yang telah memiliki penduduk dalam jumlah yang besar dan padat. Kalaupun dilakukan naturalisasi, hal itu dilakukan karena alasan orang-orang asing memiliki potensi dan capital agar bisa digunakan dalam membangun negara tersebut.

Di Indonesia, secara teknis, pengajuan permohonan kewarganegaraan diajukan kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
  1. Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;
  2. Pada saat mengajukan permohonan telah tinggal di Indonesia paling singkat selama 5 tahun;
  3. Sehat jasmani dan ruhani;
  4. Dapat berbahasa Indonesia dan mengakui Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara;
  5. Tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana satu tahun atau lebih;
  6. Bersedia tidak memiliki kewarganegaraan ganda;
  7. Memiliki pekerjaan/penghasilan tetap;
  8. Membayar uang kas kepada negara.
Secara politik kewarganegaraan, setiap masa/zaman tertentu akan memunculkan paradigma yang berbeda tentang relasi antara negara dan warganegara. Pada masa pra kemerdekaan, warganegara diposisikan sebagai anggota kerajaan yang harus menuruti segala keputusan dan kebijakan kerajaan. Feodalisme menjadi kata kunci untuk menggambarkan relasi antara negara dan warganegara. Masa awal kemedekaan hingga menjelang reformasi, warganegara diposisikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan negara. Ketika berbicara tentang negara, maka termasuk di dalamnya warganegara. Sehingga relasi antara negara dan warganegara tidak dapat didefinisikan secara jelas dan tegas. Implikasinya adalah terjadinya kerancuan dalam memahami domain publik dan domain prifat. 
Seringkali justru domain publik dipaksakan atau direkayasa menjadi domain prifat sekedar untuk menghindari tanggungjawab negara. Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat bahwa belum pernah diketemukan statemen negara yang secara tegas mengaku  bersalah ketika ada persoalan sosial, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Warganegara selalu diikutkan sebagai bagian penanggungjawab jika terjadi persoalan di masyarakat. Contohnya dapat diungkap dari persoalan yang paling sederhana hingga persoalan yang sangat rumit. Rusaknya jalan raya sebagai infrastruktur yang sesungguhnya menjadi tanggungjawab negara selalu dianggap sebagai kesalahan warganegara karena tidak mau menjaga dan memanfaatkan jalan dengan baik. Negara tidak pernah mau mengakui bahwa jalan raya rusak karena aparat negara berlaku korup dalam pembangunan jalan tersebut atau tidak bekerja optimalnya –kalau tidak dikatakan perilaku korup– penjaga timbangan beban kendaraan, sehingga kendaraan dengan beban yang berlebihan dapat dengan bebas berlalu lalang melewati jalan-jalan raya di berbagai daerah. Jika sudah rusak, aparat negara dengan entengnya menyatakan “itulah masyarakat, tidak pernah mau patuh pada hukum”. Sebuah label diskriminatif yang selalu dilekatkan kepada masyarakat. Masyarakat Indonesia belum pernah menemukan pemimpin seperti Presiden Korea Selatan yang mundur dari jabatannya hanya karena di wilayahnya terjadi kecelakaan kereta api yang menewaskan ratusan orang sedangkan dia sedang bermain golf. 
Puluhan kecelakaan moda transportasi, ribuan nyawa melayang yang terjadi di Indonesia tidak sama sekali mampu memberi inspirasi bagi penyelenggara negara untuk sekedar mengaku bersalah dan bersedia beranggungjawab atas berbagai insiden yang terjadi. Alih-alih mundur dari jabatannya, aparat negara justru dengan enteng mengatakan “itulah kesalahan masyarakat yang tidak hati-hati memilih moda transportasi yang aman”. Semua ini terjadi karena ketidakjelasan posisi negara dan warganegara di Indonesia.

Hak asasi manusia sesungguhnya menuntut adanya perubahan paradigma berkaitan dengan relasi antara negara dan warga negara. Secara tegas hak asas manusia menuntut negara untuk bertanggungjawab atas berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat selagi hal itu berkaitan dengan domain publik. Hak asasi manusia menempatkan negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) yang bertanggungjawab untuk memenuhi (fulfill), melindungi (protect) dan menghormati (respect) hak-hak dasar warga negara, sedangkan warganegara berhak untuk mendapatkan pemenuhan tanggungjawab negara tersebut (rights holder). Relasi antara negara dan warganegara diatur sangat tegas yaitu bersifat vertical yang dipisahkan oleh pemenuhan hak dan penunaian kewajiban. Negara harus menunaikan kewajibannya sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan sedangkan warganegara berhak menikmati hasil penunaian kewajiban negara tersebut.

Masuknya hak asasi manusia ke dalam sistem hukum di Indonesia seharusnya menjadi ruh atau paradigma untuk memahami relasi negara dan warganegara. Oleh karenanya, dengan pemahaman seperti ini kewarganegaraan tidak hanya dipahami sebagai status kewarganegaraan yang berkutat pada persoalan instrumentalis belaka, namun sangat berkaitan dengan politik kewarganegaraan. Kewarganegaraan tidak hanya dipahami bagaimana seorang warganegara dapat memperoleh pengakuan sebagai warga negara Indonesia, tetapi juga berkaitan dengan apa hak seseorang setelah menjadi Warga Negara Indonesia dan apa kewajiban negara terhadap orang tersebut, dan begitu juga sebaliknya.
Kewarganegaraan sesungguhnya harus dipahami sebagai sebuah relasi “vertikal” warga (citizen) dan negara (state) yang dipersandingkan secara pararel dan dilegitimasi oleh pengertian hak dan kewajiban. Kewarganegaraan sangat berbeda dengan kerwargaan yang bermakna sebuah relasi “horizontal” yaitu hubungan antarwarga (citizen-citizen relationship) yang idealnya tidak mendapat campur tangan negara, yang kemudian dikenal dengan istilah civil society.

Sumber Buku  : Hukum Kewarganegaraan Indonesia dalam UU No. 12 Tahun 2006, Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L. , FH-UII Press, Yogyakarta, Mei 2009

WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA

A. Wawasan Nasional RI

Dalam suatu wilayah yang disebut negara Pemerintah dan rakyat memerlukan konsep berupa wawasan nasional sebagai visi nasional untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah, dan jati diri bangsa. Istilah wawasan berasal dari kata wawas (bahasa jawa) yang artinya melihat/memandang, dengan akhiran –an, berarti cara lihat/cara pandang. Wawasan nusantara adalah wawasan nasional bangsa indonesia, dimana kondisi geografisnya adalah kepulauanyang terletak di antara dua benua dan dua samudra.

Dalam mewujudkan arpirasi dan perjuangan, suatu negara perlu memperhatikan tiga faktor utama :
1) Bumi dan ruang dimana bangsa itu hidup
2) Jiwa, tekat, dan semangat manusianya
3) Lingkungan sekitar
Dengan demikian, wawasan nasional ialah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri dan lingkungannya dalam eksisitensinya yang serba terhubung dengan bangsa lain dan negara lain, dan dalam perkembangannya di lingkungan daerah, nasional, regional, dan global.


B. Teori kekuasaan dan geopolitik


Beberapa teori paham kekuasaan dan teori geopolitik adalah :



1) Teori kekuasaan
Perumusan wawasan nasional lahir berdasarkan pertimbangan dan pemikiran mengenai sejauh mana konsep operasional dapat diwujudkan dan dipertanggungjawabkan. Karena itu dibutuhkan landasan teori yang dapat mendukung rumusan wawasan nasional.

a) Paham Machiavelli (Abad XVII)


Machiavelli adala seorag ahli fikir dari Republik frorence (Italia Utara). Dalam bukunya “The Prince” diuraikan cara membentuk kekuasaan politik :
I. Dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan segala cara dihalalkan
II. Untuk menjaga kekuasaan suatu rezim dibenarkan politik adu domba
III. Yang kuat pasti dapat bertahan dan menang

b) Paham Kaisar Napoleon Bonaparte (Abad XVIII)


Seorang tokoh revolusioner, ia berpendapat :
• Perang dimasa depan merupakan perang total yang menggerakan segala daya upaya dan kekuatan nasional.
• Kekuatan politik harus di dampingi oleh kekuatan logistik dan ekonomi nasional
• Kekuatan juga didukung oleh keondisi sosial budaya, berupa Iptek demi terbentuknya kekuatan Hankam

c) Paham Jendral Clausewita (Abad XVIII)


Dalam bukunya “Von Krige" (Tentara Perang) ia nyatakan “ perang adalah merupakan kelanjutan politik dengan cara lain” . pemikiran inilah yang membenarkan Prusia (Jerman) berekspansi yang menimbulkan perang dunia I, dimana kekalahan pada pihak Prusia.


d) Paham Feurbach dan Hegel
Paham materialisme Fuerbach dan teori sintesis Hegel menimbulkan dua aliran besar Barat yang berkembang didunia, yaitu aliran kapitalisme dan komunisme

e) Paham Lenin (Abad XIX)
Lenin memodifikasi pahan Clausewite, yang menyatakan “perang adalah kelanjutan politik denhan cara kekerasan”. Bagi Leninisme/kominisme, perang, atau pertumpahan darah, atau revolusi di seluruh dunia adalah sah dalam mengkomunikasian suatu bangsa di dunia. Dalam “Perang Dingin” baik unisoviet maupun RCC berlomba-lomba untyk mengekspor paham komunis ke seluruh dunia.

f) Paham Lucian W Pye dan Sidney
Dalam bukunya “ Political Culture dan Political Devolepment” (1972) mereka menyatakan ada unsur subjektif danpsikologis dalam tatanan dinamika kehidupan politik suatu bangsa. Kemantapam suatu sistem politik dapat dicapai apabila sistem tersebut berakar pada kebudayaan politik bangsa bersangkutan.

2) Teori-teori Geopolitik

Berasal dari kata geo = bumi, politik = kekuasaan. Secara harfiah berarti politik yang dipengaruhi oleh kondisi dan konstelasi geografi. Maksudnya adalah pertimbangan-pertimbangan dasar dalam menentukan alternatif kebijaksanaan nasional untuk mencapai tujuan nasional, dipengaruhi geografi.

a) Pandangan ajaran Frederich Ratzal
Pada abad XIX, ia merumuskan pertama kali Ilmu Bumi Politik secara ilmiah. Istilah Geopolitik pertama kali dikemukakan oleh Frederich Ratzal. Pokok-pokok ajarannya :
• Pertumbuhan negara dapat dianalogikan dengan pertumbuhan organisme, yang melalui ruang hidup.
• Negara identik dengan suatu ruang. Makin luas ruang makin memungkinkan kelompok politik untuk berkembang.
• Berlakunya hukum alam : hanya bangsa yang unggul yang dapat bertahan hidup.
• Semakin tinggi budaya suatu bangsa, semakin besar kebutuhan akan dukungan sumber daya alam. Untuk ini dibenarkan “hukum ekspansi”. Batas negara adalah bersifat sementara.
Paham Ratzel ini menimbulkan dua aliran : Titik berat kekuatan di darat dan di laut. Ia melihat adanya persaingan antara kedua kekuatan ini. Maka timbulah pemikiran baru, yang merupakan dasar-dasar suprastruktur geopolitik : kekuatan total suatu negara harus mampu mewadahi pertumbuhan kondisi dan kedudukan geografinya.

b) Pandangan ajaran Rudolf Kjellen
Menurutnya negara adalah suatu organisme. Esensi ajarannya :
• Negara merupakan satuan biologis, suatu organisme hidup yang memiliki intelektual. Untuk mencapai tujuannya diperlukan ruang hidup yang luas.
• Negara merupakan suatu sistem politik/pemerintahan yang meliputi bidang-bidang : geopolitik, ekonomi politik, demo politik, dan krato politik (politik pemerintahan)
• Negara harus mampu berswasembada.
Kekuatan imperium kontinental dapat mengontrol kekuasaan di laut.
 
c) Pandangan Ajaran Karl Haushofer


Pandangannya berkembang di Jerman ketika negara berada di bawah kekuasaan Adolf Hitler (Nazi), juga berkembang di Jepang dalam ajaran Hako Ichiu. Pokok-pokok ajarannya:
• Kekuasaan imperium daratan yang kompak akan mengalahkan kekuatan imperium maritim.
• Beberapa negara besar di dunia akan timbul, dan akan mengusi Eropa, Asia, Afrika, dan Asia Barat : yaitu Jerman dan Italia, serta Jepang di Asia Timur Raya.
• Geopolitik adalah doktrin negara yang menitikberatkan soal-soal strategi perbatasan. Ruang hidup bangsa dan tekanan-tekanan kekuasaan dan sosial yang rasial mengharuskan pembagian baru kekayaan alam di dunia. Geopolitik adalah landasan bagi tindakan politik dalam perjuangan mendapatkan ruang hidup.
Pokok-pokok teori Karl Haushofer pada dasarnya menganut teori Rudolf Kjellen dan bersifat ekspansif.

d) Pandangan ajaran Sir Halford Mackinder


Ajarannya ialah Wawasan Benua (Kekuatan Darat). Ia mengatakan : Barang siapa yang dapat menguasai “Daerah Jantung” (Eropa, Asia/Erasia, ia akan dapat menguasai “Pulau Dunia” (Eropa, Asia, Afrika); serta barang siapa yang dapat menguasai pulau dunia akhirnya dapat menguasai dunia.

e) Pandangan ajaran Sir Walter Raleigh dan Alfred Thayer Mahan

Gagasan mereka adalah “Wawasan Bahari” (kekuatan di lautan) yang menyatakan : Barang siapa yang menguasai lautan akan menguasai “perdagangan”, serta barang siapa yang menguasai perdagangan akan menguasai “kekayaan dunia” sehingga akhirnya menguasai dunia.

f) Pandangan ajaran W.Mitchel, A.Saversky, Giulio Douhet, dan John Frederick Charles Fuller

Menurut mereka, kekuatan di udara justru yang paling menentukan. Gagasan mereka adalah “Wawasan Dirgantara”. Kekuatan udara mempunyai daya tangkis serta dapat melumpuhkan kekuatan lawan di kandangnya sendiri.

g) Pandangan ajaran Nicholas J. Spykman

Ajaran ini menghasilkan teori daerah batas (rimland), yaitu teori “Wawasan Kombinasi” yang menggabungkan kekuatan darat, laut, dan udara yang disesuaikan dengan keperluan dan kondisi suatu negara.
 
C. Teori Kekuasaan dan Geopolitik Indonesia

Ajaran Wawasan Nasional indonesia dikembangkan berdasarkan teori wawasan nasional secara universal. Wawasan tersebut dibentuk dan dijiwai oleh Paham Kekuasaan bangsa Indonesia dan Geopolitik Indonesia.


a) Paham Kekuasaan bangsa Indonesia

Menganut paham tentang “perang dan damai” yaitu : “Bangsa Indonesia cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan dan kedaulatannya”. Artinya bahwa hidup di antara sesama warga bangsa dan bersama bangsa lain di dunia merupakan kondisi yang terus menerus perlu diupayakan. Sedangkan penggunaan kekuatan nasional dalam wujud perang hanyalah digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan, martabat bangsa dan integritas nasional, serta sedapat mungkin diusahakan agar wilayah nasional tidak menjadi ajang perang. Konsekuensinya, bangsa Indonesia harus merencanakan, mempersiapkan, dan mendayagunakan sumber daya nasional secara tepat dan terus menerus sesuai dengan perkembangan zaman.

b) Geopolitik Indonesia

Pemahaman tentang negara Indonesia menganut paham negara kepulauan, yaitu paham yang dikembangkan dari asas archipelago yang memang berbeda dengan pemahaman archipelago di negara-negara Barat pada umumnya. Menurut paham Barat, laut berperan sebagai ‘pemisah” pulau. Sedangkan menurut paham Indonesia laut adalah “penghubung” sehingga wilayah negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai “Tanah Air” dan disebut “Negara Kepulauan”.


D. Dasar Pemikiran Wawasan Nasional Indonesia

Wawasan Nasional Indonesia dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasaan bangsa Indonesia yang berdasarkan falsafah pancasila dan oleh pandangan geopolitik Indonesia yang berdasarkan pemikiran kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia. Karena dasar pemikiran wawasan nasional Indonesia terdiri atas dasar pemikiran berdasarkan filsafat, kewilayahan, sosial budaya, dan kesejarahan.

a) Dasar Pemikirian berdasarkan Falsafah Pancasila
Manusia Indonesia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai naluri, akhlak, dan daya pikir; sadar akan keberadaannya yang serba terhubung dengan sesamanya, lingkungannya, alam semesta, dan Penciptanya, yang menumbuhkan cipta, karsa, dan karya untuk mempertahankan eksistensinya. Nilai-nilai Pancasila tercakup dalam penggalian dan pengembangan Wawasan Nusantara(Wawasantara).

Sila Ke-1 : Ketuhanan Yang Maha Esa

-Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
-Hormat menghormati antar pemeluk agama dan toleransi
-Kebebasan beragama

Sila Ke-2 : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Memberi hak dan kewajiban yang sama kepada setiap warga negara dalam menerapkan HAM

Sila Ke-3 : Persatuan Indonesia
-Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara namun tidak mematikan kepentingan individu, golongan, dan suku.

Sila Ke-4 : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
-Keputusan diusahakan melalui musyawarah untuk mufakat, namun tidak menutup kemungkinan voting.

Sila Ke-5 : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
-Mengakui dan menghargai hak warga negara untuk mencapai kesejahteraan namun tidak merugikan kepentingan orang lain.

Wawasan Nasional Indonesia menghendaki tercapainya persatuan dan kesatuan, namun tidak menghilangkan sifat, ciri, dan karakter kebinekaan.


b) Pemikiran berdasarkan Aspek Kewilayahan Nusantara

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pengaruh geografi terhadap sikap dan tatalaku negara yang bersangkutan merupakan suatu fenomena yang mutlak diperhitungkan.

(1) Hukum Laut

Dalam hukum laut internasional dikenal dua konsep yang bertentangan, yaitu:
*Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada yang mem-punyainya, dan oleh karena itu dapat dimiliki tiap-tiap negara.
*Res Communis, menyatakan bahwa laut itu adalah milik masyarakat du-nia dan karena itu tidak dapat dimiliki tiap-tiap negara.

Hugo de Groot (Belanda) dalam bukunya Mare Liberium menyatakan bahwa laut bebas untuk semua bangsa.

Grotius dalam bukunya De Jure Belli Ac Pasis (1625), mengakui laut sepanjang pantai suata negara dapat dimiliki sejauh yang dapat dikuasai darat.
Cornelis van Bynkershosk dalam bukunya De Dominio Maris Di sertatio menyatakan bahwa penguasaan dari darat itu berada sejauh yang dapat dikuasai oleh meriam dari darat, pada waktu itu diperkirakan sejauh 3 mil.

 
(2) Deklarasi Juanda
Kondisi objektif geografis Nusantara merupakan untaian ribuan pulau, terbentang di khatulistiwa berada pada posisi silang yang strategis.
Wilayah Indonesia pada saat Proklamasi Kemerdekaan masih mengikuti hukum laut “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie” (TZEMKO) tahun 1939, dimana lebar laut wilayah Indonesia 3 Mil dari pantai tiap pulau. Hal ini tidak terjamin kesatuan wilayah NKRI.

Pada tanggal 13 Desember 1957 diumumkanlah Deklarasi Juanda yang berbunyi “… berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu lintas dalam di perairan pedalaman bagi kapal-kapal asing dijamin selama tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas lautan territorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia ….”


Tujuan inti dari deklarasi juanda antara lain adalah :

• Perwujudan bentuk wilayah Negara Kesatuan RI yang utuh dan bulat
• Penentuan batas-batas wilayah negara Indonesia disesuaikan dengan asas Negara kepualauan (Archipelagic State Principles)
• Pengaturan lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamaan NKRI
Deklarasi Juanda ini dikukuhkan dengan UU no.4/Prp/1960, yang menyatakan :
• Laut wilayah Indonesia 12 mil diukur dari pangkal lurus (Straight Base Line)
• Semua kepulauan dan laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan. Akibat dari UU tsb wilayah RI berubah luasnya dari 2 juta KM2 menjadi 5 juta KM2 yang terdiri atas + 65% wilayah laut dan + 35% wilayah darat. Wilayah darat terdiri dari 17.508 pulau pulau besar dan kecil dimana baru 6044 yang diberi nama.
Kepulauan Indonesia terletak pada batas-batas astronomi sebagai berikut :

Utara : ±6° 08’ LU
Selatan : ±11° 15’ LS
Barat : ±94° 45’BT
Timur : ±141° 05’ BT
Jarak utara-selatan sekitar 1.888 km.
Jarak Barat-Timur : +5.110 km

 
Melalui Konfrensi PBB tentang Hukum Laut Internasional Tahun 1982, pokok pokok asas Negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam konvensi PBB tentang hukum laut, yaitu United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS). Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU no.17 tahun 1985, tanggal 31 Desember 1985.
Menurut UNCLOS hak Negara kepulauan :

• Laut Teritorial : Wilayah laut selebar 12 mil dari garis pangkal, dihitung waktu air surut.
• Laut Dalam : semua jenis perairan yang ada di pedalaman wilayah Negara
• Zona tambahan : wilayah laut sebesar 24 mil untuk pengawasan bea cukai, saniter, dan sebagainya.

Berlakunya UNCLOS 1982 berpengaruh pada upaya pemanfaatan laut bagi kepentingan kesejahteraan :
17 Februari 1969 dikeluarkanlah Deklarasi Landas Kontinen yang isinya menyatakan bahwa Negara Indonesia mempunyai penguasaan dan yurisdiksi yang eksklusif atas kekayaan mineral dan kekayaan lainnya dalam dasar laut dan tanah didalamnya dan dilandas kontinen Indonesia
21 Maret 1980 diumumkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang lebarnya 200 mil diukur dari pangkal laut wilayah Indonesia, dimana dinyatakan hak Indonesia atas segala sumber daya alam di lautan termasuk dibawah permukaan, didalam laut dan dibawahnya, serta segala kegiatan eksploitasi , dan penelitian di ZEE indonesia.
Perjuangan penegakan kedaulatan di dirgantara, Indonesia memanfaatkan batas GSO (Geo Stationary Orbit) yang merupakan ketinggian + 36.000 KM, yang merupakan batas ketinggian wilayah Indonesia di udara (Ps. 30 UU No. 20/1982).




(3) Hukum Ruang Udara/dirgantara
Hukum udara bersumber dari hukum internasional, Ps. 38 A(1) Statuta International Court of Justice menyatakan tentang :
• Konvensi/traktat/perjanjian internasional
• hukum kebiasaan internasional
• prinsip prinsip hukum umum yang diakui oleh Negara-negara
• ajaran/pendapat para sarjana terkemuka ahli hokum internasional
Hukum udara adalah perangkat kaidah tentang matra udara yang dikaitkan dengan batas yurisdiksi Negara. Perkembangan hokum udara dimulai ketika Perang Dunia I berakhir. Pada saat itu Negara dihadapkan pada:
• perlu penegasan konsep kedaulatan ruang udara, dan
• perlu memperketat pertahanan Negara melalui control ruang udara

Akhirnya dicapai suatu kesepakatan :

• Demi keselamatan penerbangan perlu ditetapkan standardisasi internasional yang berkaitan dengan prosedur teknis penerbangan (navigasi) udara.
• Menegaskan prinsip kedaulatan yang utuh dan penuh dari negara-negara atas ruang udara diatas wilayah nasional suatu negara, dilangsungkan jaringan penerbangan sipil internasional secara aman, tertib, teratur, dan nyaman.

TEORI RUANG UDARA

Didunia internasional dikenal 2 teori udara, yaitu :
1. Teori udara Bebas (Air Freedom Theory) :
• Kebebasan Udara tanpa batas : ruang udara itu bebas, dapat digunakan oleh siapa saja. Tidak ada Negara yang mempunyai hak dan kedaulatan di ruang udara
• Kebebasan Udara Terbatas yang dibagi menjadi 2 pula :
a. Negara Kolong (Subjacent state) berhak mengambil tindakan tertentu untuk memelihara keamanannya.
b. Negara kolong hanya mempunyai hak terhadap zona territorial ruang udara tertentu

2. Teori Negara berdaulat diudara (The Air Souverignity).

  * Konvensi Chicago 1944
Merupakan perjanjian internasional dalam badan resmi International Civil Aviation Organization (ICAO) : setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan eksklusif diruang udara diatas wilayahnya, tetapi tidak mengakui Inocent passage (hak lintas damai), dan bagi penerbangan komersial diperlukan izin pada antarnegara.

  * Teori keamanan : Negara mempunyai kedaulatan ruang udara sampai yang diperlukan untuk keamanan. Fauchille memberikan ketinggian 1.500 m (1909) diturunkan menjadi 500m (1910)


  * Teori penguasaan Cooper (cooper’s control theory) : kedaulatan udara suatu Negara ditentukan oleh kemampuan Negara tersebut untuk menguasai ruang udara secara fisik dan ilmiah


  * Teori udara Schachter : ruang udara ditentukan oleh kemampuan udara mengapungkan pesawat/balon, yaitu sekitar 30 mil dari permukaan bumi.



c) Pemikiran Berdasarkan Aspek Sosial Budaya
Budaya merupakan hasil kekuatan budi manusia, lengkapnya ialah cipta, rasa, dan karya. Budaya dilahirkan dari hubungan antar manusia yang membentuk pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang merangsang hubungan sosial di antara anggotanya.
Cipta, karsa, dan karya sangat dipengaruhi oleh lingkungan alamiah tempat manusia hidup. Itulah sebabnya bangsa Indonesia yang mempunyai ruang hidup dengan kondisinya yang masing-masing membentuk karakter bangsa yang berbeda, dari segi etnis, alam, dan pendidikan. Heterogenitas karakter bangsa, secara budaya meliputi:

• Sistem religi/ keagamaan

• Sistem masyarakt / organisasi
• Sistem pengetahuan
• Sistem keserasian / budaya dalam arti sempit
• Sistem mata pencaharian / ekonomi, dan
• Sistem teknologi dan peralatan
Kebudayaan yang merupakan warisan, memaksa generasi berikutnya untuk menerima dan memelihara norma-norma. Penerimaan ada yang bersifat emosional yang mengikat secara kuat dan sensitif sehingga dapat memicu konflik sosial, ras, antar golongan (SARA) secara tidak rasional. Keterikatan masyarakat dan daerahnya juga dapat membentuk sentimen daerah yang sering dijadikan perisai terhadap ketidakmampuan individu dalam menghadapi perubahan yang dianggap mengancam eksistensi budayanya. Jika penerimaan secara emosional ini terus dikembangkan, konflik konflik akan bereskalasi menjadi konflik antar daerah yang bersifat nasional. Untuk itulah diperlukan rekayasa sosial dalam pembangunan karakter nasional (national and character building), yaitu Wawasan Nusantara yang dilandasi Bhineka Tunggal Ika.

d) Pemikiran Berdasarkan Aspek Kesejarahan

Perjuangan suatu bangsa didasarkan atas latar belakang sejarahnya. Indonesia diawali dari negara-negara kerajaan tradisional, misalnya Sriwijaya dan Majapahit. Rumusan filsafah negaranya belum jelas. Yang ada baru slogan yang ditulis Mpu Tantular : “Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa”.
Nuansa kebangsaan mulai muncul sejak tahun 1900-an ditandai oleh lahirnya konsep baru dan modern (dasar dan tujuannya berbeda dengan konsep lama). Penjajahan menimbulkan penderitaan dan kepahitan, namun menimbulkan semangat senasib sepenanggungan. Diawali oleh Budi Oetomo (20-5-1908) yang disenut dengan “Kebangkitan Nasional “ yang menimbulkanwawasan kebangsaan Indonesia, yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda tanggal 28-10-1928. Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 Indonesia mulai menegara.
Wilayah NKRI masih berdasarkan warisankolonial Belanda, yaitu batas wilayah perairan berdasarkan “Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie” tahun 1939 ialah selebar 3 mil dari garis pangkal tiap pulau. Melalui proses perjuangan yang panjang (±28 tahun) Indonesia berhasil mengubah batas wilayah perairan, yaitu 12 mil dari pantai pulau-pulau terluar (Deklarasi Juanda 13 Des 1957). Dengan demikian terwujudlah kesatuan wilayah RI yang disebutkan dengan istilah “Konsepsi Nusantara”, terdiri atas kata “Nusa” = pulau dan “Antara”, yaitu yang terletak di antara dua benua dan dua samudera.
Konsepsi Nusantara mengilhami Angkatan-angkatan dalam tubuh TNI untuk mengembangkan wawasan berdasarkan mantranya:

  * Angkatan Darat mengembangkan Wawasan Benua

  * Angkatan Laut mengembangkan Wawasan Bahari
  * Angkatan Udara mengembangkan Wawasan Dirgantara

Untuk menghindari ancaman terhadap kekompakan ABRI disusunlah Wawasan Hankamnas yang terpadu dan terintegrasi (merupakan hasil seminar Hankam I tahun 1966), yang diberi nama Wawasan Nusantara Bahari. Pada Raker Hankam tahun 1967, Wawasan Hankamnas dinamakan Wawasan Nusantara. Pada bulan November 1972 Lemhannas mengadakan pengkajian segala bahan dan data Wawasan Nusantara untuk terwujudnya suatu wawasan nasional. Dalam Ketetapan MPR N. IV/MPR/1973 Wawasan Nusantara dimasukkan dalam GBHN (Bab II huruf “E”).
Perjuangan di dunia internasional untuk diakuinya wilayah Nuasantara, sesuai dengan Deklarasi Juanda, merupakan rangkaian perjuangan yang panjang: Dimulai sejak Konverensi PBB tentang Hukum Laut I tahun 1958 kemudian yang II tahun 1960, akhirnya pada konverensi III tahun 1982, pokok-pokok asas negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 1982.
 
Sumber:
http://liasetianingsih.wordpress.com/2010/04/19/wawasan-nusantara/
http://friciliaregita.blogspot.com/2010/04/tiga-unsur-dasar-wawasan-nusantara.html
http://ogiezone.blogspot.com/2009/04/teori-kekuasaan-sebagai-lahirnya_11.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/tugas-tugas-pendidikan-kewarganegaran-tentang-3-wawasan-nasional-bangsa-indonesia/
http://id.wikipedia.org/wiki/Wawasan_Nusantara
http://ryaluvfian.wordpress.com/2010/03/22/wawasan-nasional-bangsa-indonesia/