A. Pendahuluan
Pembicaraan mengenai negara selalu menjadi pembicaraan
yang menarik baik bagi kalangan ilmuwan politik, sosial dan hukum. Negara
selalu menjadi bahan penelitian bagi berbagai kalangan untuk mengetahui
sekaligus menguji perkembangan teori yang ada demi memperoleh justifikasi atau
justru untuk membuat teori yang lebih baru. Setiap ilmuwan akan memberikan
pengertian tentang negara secara beragam, ilmuwan politik memberikan definisi
bahwa negara adalah sekumpulan politik masyarakat yang menggabungkan diri untuk
mencapai tujuan bersama. Ilmuwan sosial memahami negara sebagai institusi
sosial terbesar yang memiliki kewenangan untuk memaksakan kehendaknya kepada
anggota perkumpulan tersebut. Sedangkan ilmuwan hukum memahami negara sebagai
suatu organ yang memiliki 4 (empat) syarat yaitu ada penduduk tetap (a
permanent population), ada wilayah tertentu (a defined territory),
ada pemerintah (a government) dan memiliki kemampuan untuk secara
mandiri melakukan hubungan dengan negara lain (a capacity to enter into
relations with other states).
Banyak ilmuwan telah mendedikasikan hidupnya untuk
mempelajari masing-masing syarat di atas. Masing-masing syarat akan memunculkan
disiplin ilmu yang beragam dengan metodologi yang beragam pula. Keberadaan
penduduk akan memunculkan ilmu kependudukan, demografi dan kewarganegaraan,
wilayah tertentu akan memunculkan ilmu geografi, keberadaan pemerintah akan
memunculkan ilmu hukum tata negara dan administrasi negara, sedangkan hubungan
dengan negara lain akan memunculkan ilmu hubungan internasional dan lain-lain
sebagai bagian dari ilmu yang mempelajari empat syarat di atas.
Prof. Bagir Manan, S.H., M.C.L. dalam bukunya ini
mengambil satu bagian penting dari syarat berdirinya sebuah negara yaitu
mengenai penduduk tetap (a permanent population). Unsur penduduk atau
warga negara dapat dikatakan sebagai unsur yang paling penting dalam sebuah
negara. Warga negara merupakan unsur konstitutif keberadaan atau eksistensi
negara, bahkan dapat dikatakan bahwa warga negara merupakan motif dasar mendirikan
negara.
Secara historis pengaturan tentang kewarganegaraan
selalu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan politik, ekonomi dan sosial
dalam sebuah negara. Perubahan dan perkembangan tersebut juga terjadi di
Indonesia sejak awal kemerdekaan—bahkan sejak sebelum kemerdekaan–hingga saat
ini. Sebelum era kemerdekaan hingga awal kemerdekaan, sistem kewarganegaraan
mengacu pada peraturan kewarganegaraan Hindia Belanda yang diatur dalam “wet
Nederlands Onderdaanscaap Van Niet – Nederlanders” (S.1010:296). Peraturan
ini berlaku berdasarkan pada aturan peralihan UUD yang menyatakan bahwa sebelum
diatur secara khusus, peraturan perundang-undangan peninggalan Belanda masih
berlaku. Peraturan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Warga Negara
Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor
62 Tahun 1958 yang dibuat berdasarkan UUDS 1950. Undng-Undang Nomor 62 Tahun
1958 ini selain berdasar pada UUDS 1950 juga merupakan undang-undang untuk
menampung hasil Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 pada bagian
Pembagian Kewarganegaraan. Undang-Undang ini kemudian diubah dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 yang secara khusus dibuat untuk merubah
ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958.
Setelah sekian lama diberlakukan, Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1976 dirasa sudah tidak sejalan dengan kebutuhan hukum masyarakat, maka
diundangkanlah peraturan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
Undang-undang ini mengatur segala hal yang berkaitan dengan kewarganegaraan.
Kewarganegaraan dimaknai sebagai “segala hal ikhwal yang berhubungan dengan
warga Negara”.Makna yang sangat umum dan jauh dari pemaknaan yang komprehensif.
Pemaknaan ini baru dapat dipahami manakala dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan yang lain seperti Pasal 26 UUD 1945.
Pasal 26 UUD 1945 menyatakan bahwa warga negara ialah
(1) orang-orang bangsa Indonesia asli, (2) orang-orang bangsa asing yang
disahkan sebagai warga negara. Penggunaan istilah bangsa Indonesia asli
sesungguhnya merujuk pada Pasal 163 Indische Staatregeling (IS) pada
zaman Belanda yang membagi penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan yaitu
golongan Nederlanders (bangsa Eropa dan Jepang), Vreemde Oosterlingen
(Arab dan Cina) dan Irlanders (bangsa pribumi/bumiputra). Sedangkan
masuknya orang-orang bangsa asing akan berdampak pada prosedur pemberian
kewargenagaraan dan sistem pewarganegaraan.
Pewarganegaraan mengenal ada tiga asas yaitu (1) asas ius
sanguinis (law of the blood), yaitu pewarganegaraan berdasarkan
keturunan, (2) asas ius soli (law of the soil), yaitu
pewarganegaraan berdasarkan pada tempat kelahiran, dan (3) asas naturalisasi,
yaitu pewarganegaraan karena pemberian dari negara. Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 menambahkan dua asas lagi yaitu asas kewarganegaraan tunggal dan
asas kewarganegaraan ganda terbatas (hingga anak umur 18 tahun dan setelah itu
sang anak harus menentukan pilihannya).
B. Pemaknaan
Terhadap Berbagai Istilah Warganegara
Beragamnya penggunaan istilah yang berkaitan dengan
warganegara memberikan konsekuensi hukum yang juga berbeda-beda. Kembali ke
Pasal 26 UUD 1945 misalnya, pada ayat (2) dinyatakan bahwa penduduk ialah warga
negara dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pernyataan normatif
ini dipahami bahwa penduduk tidak sama dengan warga negara. Penduduk terdiri
dari Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing bahkan orang yang tidak
berkewarganegaraan dengan catatan mereka tinggal di Indonesia. Sedangkan Warga
Negara Indonesia dapat menjadi penduduk negara lain tanpa kehilangan
kewarganegaraannya. Istilah lain yang juga sering digunakan adalah setiap
orang, penduduk, rakyat atau rakyat Indonesia, dan bangsa Indonesia. Penjelasan
mengenai masing-masing istilah akan dijelaskan dibawah ini.
(1) Sebutan “setiap orang”
menunjukkan bahwa ketentuan itu berlaku pada setiap orang baik warga negara
maupun orang asing bahkan orang tanpa kewarganegaraan. Kata “setiap orang” ini
banyak ditemukan terutama pada pasal-pasal yang berkaitan dengan hak asasi
manusia khsusnya Pasal 28 UUD 1945 pasca amandemen. Sebutan “setiap orang” juga
diketemukan pada bab tentang Hak-Hak dan Kewajiban Dasar Manusia dalam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUDS 1950.
(2) Sebutan “tiap-tiap penduduk”.
Sebutan ini diketemukan pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang
kebebasan beragama. Istilah “penduduk” jelas maknanya adalah Warga Negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia (sesuai Pasal 26
ayat (2) UUD 1945).
(3) Sebutan “rakyat” atau “rakyat
Indonesia”. Rakyat dimaknai sebagai warga negara. Istilah “rakyat” ditemukan di
dalam pembukaan UUD antara lain dalam frasa “… dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia …”, kemudian dalam frasa “… maka rakyat Indonesia
dengan ini menyatakan kemerdekaannya …”, juga dalam fasa “… bagi seluruh rakyat
Indonesia …”. Istilah “rakyat” juga diketemukan di beberapa pasal dalam UUD
1945 antara lain Pasal 1 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (3), Pasal
34 ayat (2).
(4) Sebutan “bangsa Indonesia” dapat
diketemukan di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu pada frasa “… yang melindungi
segenap bangsa Indonesia …”, juga pada Pasal 31 ayat (5) yang berbunyi “…
dengan menjunjung tinggi … persatuan bangsa”.
Perbedaan penggunaan berbagai istilah di atas akan
memiliki implikasi yang beragam sesuai dengan konteks penggunaan istilah
tersebut. Satu yang dapat dipastikan adalah bahwa seluruh istilah yang
dijelaskan di atas selalu berkaitan dengan warga negara dan hukum
kewarganegaraan.
C. Asas
Kewarganegaraan dan Mekanisme Pewargenagaraan di Indonesia
Secara normatif, sesungguhnya Indonesia menganut
kewarganegaraan tunggal (apatride) dan bukan kewarganegaraan ganda (bipatride).
Warga negara hanya dibolehkan memiliki satu identitas kewarganegaraan. Namun,
demi kepentingan mengakomodasi kebutuhan akan adanya anak yang lahir sebagai
akibat pernikahan campuran (WNI yang menikah dengan WNA), maka asas
kewarganegaraan ganda terbatas juga dianut. Maksud kewarganegaraan ganda
terbatas adalah bahwa seorang anak dimungkinkan atau dibolehkan memiliki dua
kewarganegaraan –sesuai identitas kewarganegaraan ayah dan ibunya– hingga
berumur 18 tahun. Ketika anak tersebut telah mencapai usia 18 tahun, maka sang
anak harus memutuskan untuk memilih satu dari dua kewarganegaraan, yaitu
kewarganegaraan ayah atau ibunya.
Indonesia juga menganut asas naturalisasi, yaitu
pemberian kewarganegaraan kepada orang asing. Secara umum, negara-negara
memiliki dua sikap politik pewarganegaraan berkaitan dengan naturalisasi yaitu immigrant
state dan non-immigrant state. Immigrant state biasanya dipilih oleh
negara-negara yang berpenduduk sedikit. Pewarganegaraan dilakukan guna
mempercepat laju pertumbuhan penduduk, sehingga negara mempersilahkan orang
asing untuk datang ke negeri tersebut guna diberi kewargenagaraan. Pada umumnya
negara-negara seperti ini juga menggunakan asas ius soli (law of the
soil) yaitu pewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran. Sedangkan non-immigrant
state dipilih oleh negara-negara yang telah memiliki penduduk dalam jumlah
yang besar dan padat. Kalaupun dilakukan naturalisasi, hal itu dilakukan karena
alasan orang-orang asing memiliki potensi dan capital agar bisa digunakan dalam
membangun negara tersebut.
Di Indonesia, secara teknis, pengajuan permohonan
kewarganegaraan diajukan kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
- Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;
- Pada saat mengajukan permohonan telah tinggal di
Indonesia paling singkat selama 5 tahun;
- Sehat jasmani dan ruhani;
- Dapat berbahasa Indonesia dan mengakui Pancasila
dan UUD 1945 sebagai dasar negara;
- Tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman
pidana satu tahun atau lebih;
- Bersedia tidak memiliki kewarganegaraan ganda;
- Memiliki pekerjaan/penghasilan tetap;
- Membayar uang kas kepada negara.
Secara
politik kewarganegaraan, setiap masa/zaman tertentu akan memunculkan paradigma
yang berbeda tentang relasi antara negara dan warganegara. Pada masa pra
kemerdekaan, warganegara diposisikan sebagai anggota kerajaan yang harus
menuruti segala keputusan dan kebijakan kerajaan. Feodalisme menjadi kata kunci
untuk menggambarkan relasi antara negara dan warganegara. Masa awal kemedekaan
hingga menjelang reformasi, warganegara diposisikan sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan negara. Ketika berbicara tentang negara, maka termasuk di
dalamnya warganegara. Sehingga relasi antara negara dan warganegara tidak dapat
didefinisikan secara jelas dan tegas. Implikasinya adalah terjadinya kerancuan
dalam memahami domain publik dan domain prifat.
Seringkali justru domain publik
dipaksakan atau direkayasa menjadi domain prifat sekedar untuk menghindari
tanggungjawab negara. Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat bahwa belum
pernah diketemukan statemen negara yang secara tegas mengaku bersalah
ketika ada persoalan sosial, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.
Warganegara selalu diikutkan sebagai bagian penanggungjawab jika terjadi
persoalan di masyarakat. Contohnya dapat diungkap dari persoalan yang paling
sederhana hingga persoalan yang sangat rumit. Rusaknya jalan raya sebagai
infrastruktur yang sesungguhnya menjadi tanggungjawab negara selalu dianggap
sebagai kesalahan warganegara karena tidak mau menjaga dan memanfaatkan jalan
dengan baik. Negara tidak pernah mau mengakui bahwa jalan raya rusak karena
aparat negara berlaku korup dalam pembangunan jalan tersebut atau tidak bekerja
optimalnya –kalau tidak dikatakan perilaku korup– penjaga timbangan beban
kendaraan, sehingga kendaraan dengan beban yang berlebihan dapat dengan bebas
berlalu lalang melewati jalan-jalan raya di berbagai daerah. Jika sudah rusak,
aparat negara dengan entengnya menyatakan “itulah masyarakat, tidak pernah mau
patuh pada hukum”. Sebuah label diskriminatif yang selalu dilekatkan kepada
masyarakat. Masyarakat Indonesia belum pernah menemukan pemimpin seperti
Presiden Korea Selatan yang mundur dari jabatannya hanya karena di wilayahnya
terjadi kecelakaan kereta api yang menewaskan ratusan orang sedangkan dia
sedang bermain golf.
Puluhan kecelakaan moda transportasi, ribuan nyawa
melayang yang terjadi di Indonesia tidak sama sekali mampu memberi inspirasi
bagi penyelenggara negara untuk sekedar mengaku bersalah dan bersedia
beranggungjawab atas berbagai insiden yang terjadi. Alih-alih mundur dari
jabatannya, aparat negara justru dengan enteng mengatakan “itulah kesalahan
masyarakat yang tidak hati-hati memilih moda transportasi yang aman”. Semua ini
terjadi karena ketidakjelasan posisi negara dan warganegara di Indonesia.
Hak asasi manusia sesungguhnya
menuntut adanya perubahan paradigma berkaitan dengan relasi antara negara dan
warga negara. Secara tegas hak asas manusia menuntut negara untuk
bertanggungjawab atas berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat selagi hal
itu berkaitan dengan domain publik. Hak asasi manusia menempatkan negara
sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) yang bertanggungjawab untuk
memenuhi (fulfill), melindungi (protect) dan menghormati (respect)
hak-hak dasar warga negara, sedangkan warganegara berhak untuk mendapatkan
pemenuhan tanggungjawab negara tersebut (rights holder). Relasi antara
negara dan warganegara diatur sangat tegas yaitu bersifat vertical yang
dipisahkan oleh pemenuhan hak dan penunaian kewajiban. Negara harus menunaikan
kewajibannya sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan sedangkan
warganegara berhak menikmati hasil penunaian kewajiban negara tersebut.
Masuknya hak asasi manusia ke
dalam sistem hukum di Indonesia seharusnya menjadi ruh atau paradigma untuk
memahami relasi negara dan warganegara. Oleh karenanya, dengan pemahaman
seperti ini kewarganegaraan tidak hanya dipahami sebagai status kewarganegaraan
yang berkutat pada persoalan instrumentalis belaka, namun sangat berkaitan
dengan politik kewarganegaraan. Kewarganegaraan tidak hanya dipahami bagaimana
seorang warganegara dapat memperoleh pengakuan sebagai warga negara Indonesia,
tetapi juga berkaitan dengan apa hak seseorang setelah menjadi Warga Negara
Indonesia dan apa kewajiban negara terhadap orang tersebut, dan begitu juga
sebaliknya.
Kewarganegaraan sesungguhnya
harus dipahami sebagai sebuah relasi “vertikal” warga (citizen) dan
negara (state) yang dipersandingkan secara pararel dan dilegitimasi
oleh pengertian hak dan kewajiban. Kewarganegaraan sangat berbeda dengan
kerwargaan yang bermakna sebuah relasi “horizontal” yaitu hubungan antarwarga (citizen-citizen
relationship) yang idealnya tidak mendapat campur tangan negara, yang
kemudian dikenal dengan istilah civil society.
Sumber Buku : Hukum Kewarganegaraan Indonesia
dalam UU No. 12 Tahun 2006, Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L. , FH-UII
Press, Yogyakarta, Mei 2009